WAWASAN
NUSANTARA
Wawasan Nusantara
adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan bentuk
geografinya berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dalam pelaksanannya, wawasan
nusantara mengutamakan kesatuan wilayah dan menghargai kebhinekaan untuk
mencapai tujuan nasional.
Pengertian Wawasan Nusantara Menurut
Definisi Para Ahli
Setelah arti umum dan etimologis wawasan nusantara,
jika ditinjau dari pengertian wawasan nusantara menurut para ahli antara lain
sebagai berikut:
- Prof. Dr. Wan Usman, Pengertian wawasan nusantara menurut definisi prof. Dr. Wan Usman adalah cara pandang bangsa Indonesia mengenai diri dan tanah airnya sebagai negara kepulauan dengan semua aspek kehidupan yang beragam.
- Kel. Kerja LEMHANAS, Pengertian wawasan nusantara menurut definisi Kel. Kerja LEMHANAS (Lembaga Pertahanan Nasional) 1999 adalah cara pandang dan sikap bangsa indonesia mengenai diri dan lingkungan yang beragam dan bernilai startegis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa dan kesatuan wilayah dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional.
- Tap MPR Tahun 1993 dan 1998 Tentang GBHN, Pengertian wawasan nusantara menurut definisi Tap MPR tahun 1993 dan 1998 tentang GBHN adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungan dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah dalam menyelenggarakan kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional.
Utara : ± 6°08’ LU
Selatan : ± 11°15’ LS
Barat : ± 94°45’ BT
Timur : ± 141°05’ BT
Selatan : ± 11°15’ LS
Barat : ± 94°45’ BT
Timur : ± 141°05’ BT
- Pancasila sebagai falsaah, ideologi bangsa dan dasar negara berkedudukan sebagai landasan idil
- UUD 1945 adalah landasan konstitusi negara yang berkedudukan sebagai landasan konstitusional.
- Sebagai visi nasional yang berkedudukan sebagai landasan visional
- Ketahanan nasional sebagai konsepsi nasional yang berkedudukan sebagai landasan konsepsional
- GBHN (garis-garis besar haluan negara) sebagai politik dan strategi nasional atau sebagai kebijakan dasar nasional yang berkedudukan sebagai landasan operasioal.
Tap MPR. No. IV/MPR/1973 pada tanggal
22 maret 1973
Tap MPR. No IV/1978/22/Maret/1978/ tentang GBHN
Tap MPR. No. II/MPR/1983/12/Maret/1983
Tap MPR. No IV/1978/22/Maret/1978/ tentang GBHN
Tap MPR. No. II/MPR/1983/12/Maret/1983
A.
Kedudukan dan Fungsi Wawasan Nusantara
Wawasan
nusantara sebagai wawasan nasional bangsa Indonesia merupakan ajaran yang
diyakini kebenaran oleh seluruh rakyat agar tidak terjadi penyesatan dan
penyimpangan dalam upaya mencapai dan mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional.
Dengan demikian, Wawasan Nusantara menjadi landasan visional dalam
menyelenggarakan kehidupan nasional. Wawasan Nusantara dalam paradigma nasional
dapat dilihat dari spesifikasinya sebagai berikut:
1. Pancasila sebagai falsafah, ideologi
bangsa, dan dasar Negara, berkedudukan sebagai landasan yang adil.
2. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945
sebagai landasan konstitusi negara; berkedudukan sebagai landasan
konstitusional.
3. Wawasan Nusantara sebagai visi
nasional; berkedudukan sebagai landasan konsepsional
4. Ketahanan Nasional sebagai konsepsi
nasional; berkedudukan sebagai landasan konsepsional.
5. GBHN sebagai politik dan strategi
nasional atau sebagai kebijaksanaan dasar nasional; berkedudukan sebagai
landasan operasional.
B.
Latar Belakang
·
Falsafah Pancasila
Nilai-nilai
pancasila mendasari pengembangan wawasan nasional. Nilai-nilai tersebut adalah:
1. Penerapan Hak Asasi Manusia (HAM),
seperti memberi kesempatan menjalankan ibadah sesuai dengan agama masing-
masing.
2. Mengutamakan kepentingan masyarakat
daripada individu dan golongan.
3. Pengambilan keputusan
berdasarkan musyawarah untuk mufakat.
4.
·
Aspek kewilayahan nusantara
Pengaruh geografi merupakan
suatu fenomena yang perlu diperhitungkan, karena Indonesia kaya akan
aneka Sumber Daya Alam (SDA) dan suku bangsa.
·
Aspek sosial budaya
Indonesia
terdiri atas ratusan suku bangsa yang masing-masing memiliki adat
istiadat, bahasa, agama, dan kepercayaan yang berbeda – beda, sehingga
tata kehidupan nasional yang berhubungan dengan interaksi antargolongan
mengandung potensi konflik yang besar.mengenai berbagai macam ragam budaya.
·
Aspek sejarah
Indonesia
diwarnai oleh pengalaman sejarah yang tidak menghendaki terulangnya
perpecahan dalam lingkungan bangsa dan negara Indonesia. Hal ini dikarenakan
kemerdekaan yang telah diraih oleh bangsa Indonesia merupakan hasil dari
semangat persatuan dan kesatuan yang sangat tinggi bangsa Indonesia sendiri.
Jadi, semangat ini harus tetap dipertahankan untuk persatuan bangsa dan menjaga
wilayah kesatuan Indonesia.
C.
Fungsi
1. Wawasan nusantara sebagai konsepsi
ketahanan nasional, yaitu wawasan nusantara dijadikan konsep dalam pembangunan
nasional, pertahanan keamanan, dan kewilayahan.
2. Wawasan nusantara sebagai wawasan
pembangunan mempunyai cakupan kesatuan politik, kesatuan ekonomi, kesatuan
sosial dan ekonomi, kesatuan sosial dan politik, dan kesatuan pertahanan dan
keamanan.
3. Wawasan nusantara sebagai wawasan
pertahanan dan keamanan negara merupakan pandangan geopolitik Indonesia dalam
lingkup tanah air Indonesia sebagai satu kesatuan yang meliputi seluruh wilayah
dan segenap kekuatan negara.
4. Wawasan nusantara sebagai wawasan
kewilayahan, sehingga berfungsi dalam pembatasan negara, agar tidak terjadi
sengketa dengan negara tetangga.
D.
Tujuan
Tujuan
wawasan nusantara terdiri dari dua, yaitu:
1. Tujuan nasional, dapat dilihat
dalam Pembukaan UUD 1945, dijelaskan bahwa tujuan kemerdekaan Indonesia
adalah “untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan
perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
2. Tujuan ke dalam adalah mewujudkan
kesatuan segenap aspek kehidupan baik alamiah maupun sosial, maka dapat
disimpulkan bahwa tujuan bangsa Indonesia adalah menjunjung tinggi kepentingan
nasional, serta kepentingan kawasan untuk menyelenggarakan dan membina
kesejahteraan, kedamaian dan budi luhur serta martabat manusia di seluruh dunia.
E.
Wawasan Nusantara Sebagai Wawasan Pembangunan
Wawasan
nusantara sebagai wawasan pembangunan mempunyai arti cara pandang dan sikap
bangsa Indonesia mengenai diri serta lingkungannya selalu mengutamakan
persatuan dan kesatuan bangsa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara mencakup:
1. Perwujudan kepuluan nusantara
sebagai satu kesatuan politik.
2. Perwujudan kepulauan nusantara
sebagai satu kesatuan ekonomi.
3. Perwujudan kepulauan nusantara
sebagai satu kesatuan sosial dan ekonomi.
4. Perwujudan kepulauan nusantara
sebagai satu kesatuan sosial dan politik.
5. Perwujudan kepulauan nusantara
sebagai satu kesatuan pertahanan dan keamanan.
F.
Studi Kasus
Sengketa
Sipadan dan Ligitan
Sengketa Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas
pemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat
Makassar yaitu pulau Sipadan (luas:
50.000 meter²) dengan koordinat: 4°6′52,86″LU 118°37′43,52″BT dan pulau Ligitan (luas:
18.000 meter²) dengan koordinat: 4°9′LU 118°53′BT.
Sikap Indonesia semula ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN
namun akhirnya sepakat untuk menyelesaikan sengketa ini melalui jalur
hukum Mahkamah Internasional.
Persengketaan antara Indonesia
dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 dalam pertemuan teknis hukum laut
antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan
pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat
agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam
keadaan status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini
berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak
swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di
bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia
mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh
ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai.
Sedangkan Malaysia malah membangun resort di sana SIPADAN dan Ligitan tiba-tiba
menjadi berita, awal bulan lalu. Ini, gara-gara di dua pulau kecil yang
terletak di Laut Sulawesi itu dibangun cottage. Di atas Sipadan, pulau yang
luasnya hanya 4 km2 itu, siap menanti wisatawan. Pengusaha
Malaysia telah menambah jumlah penginapan menjadi hampir 20 buah. Dari
jumlahnya, fasilitas pariwisata itu memang belum bisa disebut memadai. Tapi
pemerintah Indonesia, yang juga merasa memiliki pulau-pulau itu, segera
mengirim protes ke Kuala Lumpur meminta agar pembangunan di sana dihentikan
terlebih dahulu. Alasannya, Sipadan dan Ligitan itu masih dalam sengketa, belum
diputus siapa pemiliknya. Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak
memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya.
Pada tahun 1976, Traktat
Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity
and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini antara lain
menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan
perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak
Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk
klaim pulau Batu Puteh, sengketa
kepemilikan Sabah dengan Filipina serta
sengketa kepulauan Spratley di Laut Cina
Selatan dengan Brunei
Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menempatkan
sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran semua warga negara
Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau.
Sikap pihak Indonesia yang ingin
membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN dan selalu menolak membawa
masalah ini ke ICJ kemudian
melunak. Dalam kunjungannya ke Kuala Lumpur pada
tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto akhirnya
menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan pula oleh
Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim,
dibuatkan kesepakatan "Final and Binding," pada tanggal 31 Mei 1997,
kedua negara menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia meratifikasi pada
tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula
Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997
Pada tahun 1998 masalah sengketa
Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ, kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002
ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau
Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di
lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1
orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim
tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi
dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan
pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan
dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah
Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan
ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur
penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak
1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak
menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian
kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan
batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.
Kekalahan Indonesia di Sipadan dan
Ligitan (sebelah utara Ambalat) adalah karena Indonesia tidak bisa menunjukkan
bukti bahwa Belanda (penjajah Indonesia) telah memiliki kedua pulau itu;
sementara Malaysia bisa menunjukkan bukti bahwa Inggris (penjajah Malaysia)
memiliki dan mengelola kedua pulau itu. Dalam Hukum Internasional dikenal
istilah “Uti Possidetis Juris” yang artinya negara baru akan memiliki wilayah
atau batas wilayah yang sama dengan bekas penjajahnya. Dalam sengketa
Sipadan-Ligitan, Indonesia dan Malaysia bersepakat istilah “warisan penjajah”
itu berlaku untuk wilayah-wilayah yang dikuasai sebelum tahun 1969. Jadi
Mahkamah Internasional memenangkan Malaysia saat itu bukan karena Malaysia pada
tahun 1990-an telah membangun resort di kedua pulau itu; tetapi karena Inggris
sebelum tahun 1969 telah menununjukkan penguasaan yang efektif atas kedua pulau
itu berupa pungutan pajak atas pemungutan telur penyu, operasi mercu suar, dan
aturan perlindngan satwa.
Sebenarnya pemerintah Indonesia
dengan para diplomatnya telah berusaha untuk mendapatkan hak atas kedua pulau
itu. Dengan segala cara mereka kerahkan,mulai dari Diplomasi dan perundingan
setiap tahun-nya,tetapi Indonesia dan Malaysia juga tidak dapat mencari titik
temu dan kesepakatan dalam Sipadan dan Ligitan.sesuai dengan Piagam ASEAN,di
mana negara-negara anggota ASEAN dalam menyelesaikan suatu permasalahan harus
di tempuh nya itikad baik dan damai (Perjanjian ASEAN 24 februari 1976 di
BALI). Apabila tidak menemukan kesepakatan, setiap anggota ASEAN wajib membawa
kasus mereka ke PBB dan putusan Mahkamah Internasional adalah final dan tidak
dapat di ganggu gugat.
Lebih dari itu,sebenarnya Mahkamah
Internasional sudah mengetahui kalau Belanda adalah pemilik pulau itu
dahulunya. Tetapi, belanda tidak pernah melakukan tindakan yang nyata apapun di
Pulau itu. Justru sebaliknya Inggris-lah yang banyak melakukan pembangunan dan
invasi di kedua pulau itu. Kemudian, Mahkamah Internasional menolak pembelaan
dan argumen Indonesia yang bersandar pada konvensi 1891. Argumen ini hanya
mengatur batasan wilayah di Kalimantan (darat) tidak di perairan. Jauh dari
pada itu Konvensi 1891, hanya menarik 3 mil dari titik pantai (kalau sekarang
12 mil) dan penarikan 3 mil itu tidak sampai ke sipadan dan Ligitan.
Dan terakhir Indonesia kalah di
Faktor Occupation (pendudukan). Intinya masyarakat yang tinggal di pulau
tersebut banyak bergantung pada transpotasi dan bantuan ekonomi dari Malaysia
bertahun-tahun. Sarana hiburan seperti pemancar radio, telepon, dan televisi
juga berasal dari Malaysia selama bertahu-tahun).
Dengan memperhatikan posisi dan letak
Sipadan dan Ligitan serta ambisi strategis/ekonomis Belanda adalah sulit
dibayangkan kalau Belanda tidak melakukan kegiatan pengawasan dan pemanfaatan
kedua pulau tersebut pada waktu itu. Disamping itu, nampaknya Indonesia memang
agak mengabaikan Sipadan dan Ligitan. Sebelum 1969 barangkali karena Indonesia
tidak menyadari keberadaan posisi kedua pulau itu, atau mungkin juga karena
terlalu banyak persoalan yang dihadapi. Tetapi sesudah tahun 1969 pada saat
mulai muncul sengketa klaim, meskipun disepakati status quo atas Sipadan dan
Ligitan, justru Malaysia tetap melanjutkan kegiatannya berupa penangkapan ikan,
pariwisata, dan kehadiran penduduk yang terus meningkat.
Kasus Sipadan dan Ligitan yang kini
telah menjadi milik Malaysia, menjadi bukti lemahnya bangsa Indonesia memahami
konsep Wawasan Nusantara. Permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia semakin
hari semakin berat, maka penerapan dan pemahaman konsep wawasan nusantara
sebagai landasan visional mutlak perlu ditanamkan kembali dalan tatanan kehidupan
masyarakat Indonesia. Euforia reformasi telah menghilangkan arah dalam
pembangunan yang merata dan adil, karena hilangnya arah visional pembangunan
bangsa. Era desentralisasi dan globalisasi saat ini, menjadi tantangan dan
peluang bagi bangsa Indonesia, untuk terus bertahan dan menjaga
keutuhannya.Tantangan globalisai yang semakin besar akan merusak keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia Apabila tidak memiliki arah pandangan hidup
yang kuat. Pemahaman yang kuat tentang konsep wawasan nusantara dapat menjadi
banteng dalam mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan adannya wawasan nusantara
kita dapat mempererat rasa persatuan di antara penduduk Indonesia yang saling
berbhineka tunggal ika. Dalam era Reformasi ini, Wawasan Nusantara semakin
kabur dalam pemahaman bangsa Indonesia. Peranan wawasan nusantara sebagai
landasan visional semakin berkurang penerapannya dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Konflik-konflik internal dan eksternal yang terjadi saat ini yang
tidak mampu diselesaikan dengan baik disebabkan rapuhnya landasan visional
bangsa Indonesia.
SUMBER: